Senin, 26 September 2011

Persahabatan Tulus 2 Raja yang tidak pernah saling bertemu..


Kisah berikut ini adalah kisah tentang persahabatan 2 Raja yang tidak pernah saling mengenal muka, yaitu:

Raja Pukkusàti/Pushracarin, penguasa Negeri Gandhara, dengan ibu kotanya Takkasilà [sekarang di Pakistan, 35 km, barat laut Rawalpindi dan Raja Bimbisàra, Penguasa negeri Maghada [wilayah tengah - Majjhima Desa], ibukotanya Ràjagaha

Suatu hari di 25 tahun sebelum Buddha wafat, datanglah para pedagang dari Takkasilà ke Ràjagaha untuk berdagang. Sebelum memulai berdagang, mereka, datang menghadap Raja Bimbisàra dengan mambawa hadiah, memersembahkannya dan memberi hormat pada beliau. Dalam ramah tamahm setelah menanyakan asal usul mereka, situasi politik, kesejahteraan, dan keadaan kota mereka, nama raja mereka. Raja kemudian bertanya,"apakah raja Pukkusati melaksanakan sepuluh kewajiban raja [Dermawan, bermoral, siap berkorban, jujur dan tulus, bajik, sederhana, tidak membenci, tanpa kekerasan, sabar dan menghormati rakyat].

Mereka menjawab, “Tuanku, raja kami memenuhi sepuluh kewajiban. Ia memajukan kesejahteraan rakyat melalui hal-hal pendukung (saïgaha-Dhamma) seperti:
  1. Sassa-medha: kebijaksanaan berhubungan dengan agricultur. Mengumpulkan pajak tanah hanya sebesar 10% dari hasil panen.

  2. Purisa-medha: kebijakan pemilihan petugas dan pasukan. Hadiah diberikan setiap setengah tahun. [Penempatan orang yg tepat [tulus dan mampu], diposisi yg tepat, dan waktu yg tepat termasuk sosial benefit yg pantas]

  3. Sammàpàsa: mengambil hati rakyat miskin. Memberikan pinjaman uang, seribu atau dua ribu tanpa dikenakan bunga selama tiga tahun.

  4. Vàcapeyya: kata-kata yang penuh kasih sayang. Menggunakan kata-kata seperti ‘anak muda’, ‘paman’, dan sebagainya dalam berbicara dengan orang-orang sesuai umur mereka.

    Ia bersikap seperti ayah bagi rakyat dan membahagiakan rakyatnya bagaikan orangtua yang menimang anaknya di pangkuannya.”

Raja Bimbisàra, “Berapa umur raja kalian?” Para pedagang itu menjawab 50 tahun". Ternyata kedua raja itu kebetulan berumur sama.

Kemudian raja berkata, “Teman-teman, raja kalian adalah orang yang baik, ia sebaya denganku. Dapatkah kalian mengusahakan agar raja kalian menjadi temanku?”

Ketika mereka memberikan jawaban positif, Raja Bimbisàra membebaskan para pedagang itu dari kewajiban pajak, menyediakan tempat tinggal serta makanan bagi mereka dan mengakhiri percakapan dengan meminta mereka untuk menghadapnya kembali sebelum mereka meninggalkan kota itu.

Sesuai instruksi raja, para pedagang itu menghadap Raja Bimbisàra pada malam sebelum keberangkatan mereka. Raja berkata, “Teman-teman, semoga perjalanan pulang kalian menyenangkan. Tanyakan kepada raja kalian mewakiliku mengenai kesehatannya dan katakan kepadanya bahwa aku ingin bersahabat dengannya.”

“Baiklah,” jawab para pedagang itu.

Sesampainya di Takkasilà, setelah menyimpan barang-barang mereka, dan setelah makan pagi, mereka menjumpai raja mereka.

Raja bertanya, “Ke mana saja kalian?, aku tidak melihat kalian beberapa hari ini.”

Para pedagang itu melaporkan semuanya kepada raja mereka. Kemudian raja dengan gembira berkata, “Baik sekali! Karena kalian aku memiliki seorang sahabat dan sekutu di Wilayah Tengah.”

Beberapa waktu kemudian, Datanglah para pedagang Ràjagaha ke Takkasilà untuk berdagang. Mereka menghadap Raja Pukkusàti dengan membawa hadiah. Ketika raja mengetahui bahwa mereka datang dari Ràjagaha, kota kerajaan temannya, ia berkata, “Kalian adalah tamu dari Ràjagaha, kota kerajaan teman dan sekutuku, Raja Bimbisàra,”

Para pedagang itu membenarkan.

Selanjutnya raja menanyakan tentang kesehatan temannya dan membuat pengumuman diiringi tabuhan genderang, “Sejak hari ini, semua pedagang yang datang dari kerajaan temanku Raja Bimbisàra, baik yang berjalan kaki maupun yang mengendarai kereta akan disediakan tempat tinggal dan makanan dari lumbung istana. Mereka akan dibebaskan dari pajak. Tidak ada yang boleh mengganggu mereka.”

Raja Bimbisàra juga melakukan hal yang sama di kotanya.

Dua Raja Itu Saling Bertukar Pesan
Kemudian Raja Bimbisàra mengirim pesan kepada Raja Pukkusàti yang berisi,
“Teman, batu mulia seperti batu delima, mutiara, dan lain-lain, biasanya dihasilkan oleh negeri-negeri perbatasan. Jika engkau menemukan batu-batu mulia berharga yang menarik, mohon beritahukan kepadaku.”

Raja Pukkusàti sebaliknya mengirim pesan belasan yang berisi, “Teman, Wilayah Tengah adalah wilayah yang kaya. Jika muncul batu mulia berharga dari jenis yang lain, mohon beritahukan kepadaku.”

Selama berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun, kedua raja itu menjalin persahabatan tanpa pernah bertemu muka.

Hadiah Raja Pukkusàti
Dalam masa kedua raja itu sepakat untuk saling berbagi berita mengenai harta terpendam mereka, suatu benda yang layak untuk dijadikan hadiah pertama kali muncul dari pihak Raja Pukkusàti. Raja itu mendapatkan delapan helai kain lima warna yang tidak ternilai. “Kain-kain ini berkualitas tinggi,”

pikir raja itu, “Aku akan mengirimkannya sebagai hadiah kepada temanku Raja Bimbisàra.”

Kemudian ia membuat delapan peti dari kayu cendana yang dihaluskan. Dalam masing-masing peti ia memasukkan sehelai kain dan dengan menggunakan getah pohon karet, ia membentuk peti-peti itu menjadi berbentuk bola. Masing-masing bola dibungkus dengan kain putih dan dimasukkan ke dalam kotak yang dibungkus lagi dengan kain lainnya dan disegel. “Serahkan ini kepada temanku Raja Bimbisàra,”

Raja menyuruh para menterinya untuk mengirimkan kotak-kotak itu kepada temannya. Ia juga melampirkan sepucuk surat yang mengatakan, “Aku ingin agar temanku membuka kotak ini dan melihat hadiah ini bersama para menteri dan pejabat di tengah-tengah kota"

Para menteri itu pergi ke Ràjagaha dan menyampaikan hadiah itu. Membaca pesan itu, Raja Bimbisàra memerintahkan agar semua menteri dan pejabatnya berkumpul. Di tengah-tengah kota, raja duduk di atas singgasana permata di bawah payung putih kerajaan. Kemudian ia membuka kain penutup dan membuka kotak itu. Ketika ia membuka paket itu dan melihat bola getah karet itu, ia berpikir, “Oh, temanku Raja Pukkusàti mengirim dadu karet ini sebagai hadiah, ia pasti telah keliru menganggapku sebagai seorang penjudi, seorang pemain dadu.”

Dengan pikiran demikian, ia mengambil bola itu, menggelindingkannya di telapak tangannya, menebak beratnya dan mengetahui bahwa bola itu berisi gumpalan kain tipis.

Ketika raja melemparkan bola itu ke kaki singgasana, karet itu terlepas (dari lapisan-lapisannya). Ia membuka peti harum itu dengan kuku jari tangannya dan melihat kain berharga itu, ia segera memerintahkan agar tujuh peti lainnya dibuka juga. Mereka melihat dengan mata mereka sendiri bahwa semuanya berisikan kain yang tidak ternilai itu. Ketika kain itu dibentangkan dan diukur, mereka melihat warna-warni dan sentuhan yang indah, masing-masing berukuran panjang enam belas lengan dan lebar delapan lengan. Menyaksikan harta yang tidak ternilai itu, orang-orang bertepuk tangan dan melemparkan penutup kepala mereka.

Mereka bergembira dan berkata, “Raja kita dan temannya Raja Pukkusàti belum pernah bertemu, namun raja itu mengirimkan hadiah yang tidak ternilai. Sangatlah tepat berteman dengan raja seperti itu.”

Raja Bimbisàra menaksir nilai dari tiap-tiap helai kain itu dan mengetahui bahwa semuanya bernilai sangat tinggi. Ia mempersembahkan empat helai kepada Buddha dan menyimpan empat sisanya di dalam istananya.

Hadiah Balasan dari Raja Bimbisàra
Kemudian Raja Bimbisàra berpikir, “Sebuah hadiah balasan harus melebihi hadiah yang diterima. Temanku Raja Pukkusàti telah mengirimkan hadiah yang tidak ternilai kepadaku. Hadiah apakah yang harus kukirimkan kepadanya sebagai balasan?”

Oleh karena itu, dalam memilih benda berharga sebagai hadiah balasan, raja mempertimbangkan sebagai berikut:
    “Di dunia ini, permata (ratana) ada dua jenis, yang hidup (saviññàṇaka) dan yang mati (aviññàṇaka). Dari kedua jenis ini, benda mati seperti emas, perak atau benda-benda berharga lainnya hanya berfungsi sebagai hiasan bagi yang hidup. Oleh karena itu, permata hidup adalah lebih berharga.”

    “Permata hidup juga ada dua jenis, manusia dan binatang. Binatang seperti gajah, kuda atau binatang lainnya bertugas untuk bekerja membantu manusia. Oleh karena itu permata manusia adalah lebih berharga.”

    “Permata manusia juga ada dua jenis, laki-laki dan perempuan. Perempuan, bahkan jika ia adalah permaisuri seorang raja dunia, ia hanyalah bertugas melayani laki-laki. Oleh karena itu, permata laki-laki adalah lebih berharga.”

    “Permata laki-laki juga ada dua jenis, perumah tangga (àgàriya) yang mencari nafkah untuk keluarganya dan petapa (anàgàriya) yang tidak mencari nafkah untuk keluarganya. Perumah tangga, meskipun ia adalah raja dunia, yang teragung dari kelompok perumah tangga, harus memberi hormat kepada seorang sàmaṇera yang baru ditahbiskan sehari. Oleh karena itu permata petapa adalah lebih berharga.”

    “Permata petapa juga ada dua jenis, mereka yang masih dalam tahap belajar (sekkha), orang awam atau orang yang telah mencapai pencapaian yang rendah; dan seorang Yang Tak Kembali lagi (asekha), seorang Arahanta. Bahkan seratus ribu orang yang masih dalam tahap belajar, mereka tidak sebanding dengan seorang Yang Tak Kembali lagi, seorang Arahanta, dalam hal kesucian. Oleh karena itu, mereka Yang Tak Kembali lagi adalah lebih berharga.”

    “Permata Yang Tak Kembali juga ada dua jenis, Buddha dan para siswa-Nya. Bahkan seratus ribu siswa tidak sebanding dengan seorang Buddha dalam hal kesucian. Oleh karena itu, permata Buddha adalah lebih berharga.”

    “Permata Buddha juga ada dua jenis, Buddha kecil (Pacceka Buddha) dan Buddha Yang Mahatahu (Sabbaññū Buddha) atau Yang Mencapai Pencerahan Sempurna (Sammàsambuddha). Bahkan seratus ribu Pacceka Buddha tidak sebanding dengan seorang Sammàsambuddha. Oleh karena itu Buddha Yang Mahatahu adalah lebih berharga.”

    “Sesungguhnya, di dunia makhluk-makhluk hidup ini beserta alam dewa dan brahmà, tidak ada permata yang dapat menandingi Buddha Yang Mahatahu. Oleh karena itu, aku akan mengirimkan permata istimewa ini kepada temanku Raja Pukkusàti.”
Dengan pikiran demikian, Raja Bimbisàra bertanya kepada para menteri dari Takkasilà apakah mereka pernah melihat Tiga Permata, Buddha, Dhamma, dan Saṁgha di negeri mereka. Para menteri itu menjawab mereka bahkan tidak pernah mendengarnya, apalagi melihatnya.

Raja sangat gembira karena sekarang ia berkesempatan mengirimkan hadiah yang tidak ada di Takkasilà. Kemudian raja berpikir, “Aku dapat meminta Buddha untuk berkunjung ke Takkasilà, kota kerajaan temanku Raja Pukkusàti demi kemajuan spiritual penduduk di sana. Tetapi bukanlah kebiasaan Buddha bermalam di daerah perbatasan. Jadi tidak mungkin Buddha pergi ke sana.”

“Andaikan aku memohon dan mengirim Yang Mulia, Sàriputta, Moggallàna, para Siswa Utama lainnya, dan para Arahanta. Akan tetapi, begitu aku mendengar mengenai keberadaan mereka di daerah perbatasan, aku harus mengirim orang-orangku, dan membawa mereka ke sini dengan cara apa pun dan melayani kebutuhan mereka. Jadi tidak mungkin para Thera itu pergi ke sana.”

“Oleh karena itu aku akan mengirim pesan yang berfungsi sama dengan kunjungan Buddha dan para Thera ke Takkasilà.”

Sang Raja kemudian menyiapkan sehelai kain emas, empat lengan panjangnya dan setengah lengan lebarnya, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis. Pada hari ia akan menulis di kain emas itu, ia mencuci rambutnya pada pagi hari, mandi, bertekad menjalani Delapan Sīla dan setelah makan pagi, ia tidak menghias dirinya dengan bunga dan tidak memakai wangi-wangian. Kemudian ia mengambil bubuk merah dalam cangkir emas, ia menutup semua pintu di tingkat bawah dan naik ke tingkat atas. Untuk memperoleh cukup penerangan, ia membuka jendela yang ditopang oleh patung singa di sebelah timur, dan duduk di dalam kamar, raja menulis di atas kain emas tersebut!

“Telah muncul di dunia ini, guru yang layak dipuja (Arahaṁ), yang telah mencapai Pencerahan Sempurna (Sammàsambuddha), memiliki pengetahuan dan perbuatan yang terpuji (Vijjà-caraṇa-sampanna), Petapa Mulia (Sugata), yang mengetahui seluruh alam (Lokavidū), pembimbing manusia yang tiada taranya (Anuttaro-purisa-damma-sàrathi), guru para dewa dan manusia (Satthà-devamanussànaṁ), yang sadar (Buddha), yang patut dimuliakan (Bhagavà)."

Demikianlah raja pertama-tama menuliskan beberapa ciri mulia Buddha.

Kemudian ia menjelaskan bagaimana Bodhisatta melatih Sepuluh Kesempurnaan (Pàramī); bagaimana Beliau setelah meninggal dunia dari Alam Dewa Tusita, Beliau masuk ke rahim ibu-Nya, bagaimana saat itu terjadi tiga puluh dua keajaiban yang terlihat oleh seluruh dunia dengan jelas, bagaimana keajaiban-keajaiban terjadi saat Beliau masuk ke dalam kandungan, bagaimana Beliau mempraktikkan pertapaan dan berusaha mencapai Pencerahan Sempurna; bagaimana Beliau, duduk di atas Singgasana Aparàjita dan mencapai Kemahatahuan di atas Singgasana Aparàjita itu, bagaimana Beliau mencapai kekuatan adialami yang luar biasa sehingga Beliau mampu menembus seluruh semesta.

Akhirnya, Raja Bimbisàra menulis bahwa di seluruh alam dewa dan brahmà, tidak ada permata (ratana) selain Buddha-ratana yang memiliki ciri-ciri mulia tersebut. Raja selanjutnya menuliskan ciri-ciri lain dari Buddha dalam syair berikut:

Yaṁ kiñci vittaṁ idha và huraṁ và.
saggesu và yaṁ ratanaṁ paṇītaṁ
na no samaṁ atthi Tathàgatena;
idampi Buddhe ratanaṁ paṇītaṁ
etena saccena suvatthi hotu.


Kemudian untuk memuji Dhamma-ratana, raja menuliskan enam ciri mulianya, yaitu,

“Ajaran Buddha telah dibabarkan dengan sempurna (svàkkhàta), hasilnya dapat dibuktikan dalam kehidupan ini juga (sandiṭṭhika), bermanfaat langsung (akàlika), mengundang makhluk-makhluk untuk ‘datang dan melihat’ (ehipassika), layak dipelajari (opaneyyika) dan layak dilaksanakan oleh para bijaksana (paccattaṁ-vedittabba viññūhi). Raja juga menyebutkan ciri-ciri istimewa seperti Tiga Puluh Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna (Bodhipakkhiya Dhamma) yaitu Empat Landasan Perhatian Murni (Satipaṭṭhàna), empat usaha benar (sammappadhàna), empat jalan menuju pencapaian kekuatan adialami (iddhipada), lima indria (indriya), lima kekuatan (bala), Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna (bojjhaṅga) dan Jalan Berfaktor Delapan (maggaṅga).
Kemudian Raja menjelaskan ciri-ciri mulia Dhamma sebagai berikut:

Yaṁ buddhaseṭṭho parivaṇṇaī suciṁ
samàdhimanantarikaññamàhu;
samàdhinà tena samo na vijjati,
idampi dhamme ratanaṁ paṇītaṁ
etena saccena suvatthi hotu


Kemudian Raja memuji Saṁgha-ratana dengan menuliskan sembilan ciri-ciri mulia, empat yang pertama adalah “Para siswa Buddha bertindak-tanduk baik (supaṭipannatà), jujur (ujupaṭipannatà), perbuatan mereka mengarah menuju Nibbàna (nàyapaṭipannatà); karena perbuatannya, mereka layak diberi penghormatan (sàmīcipaṭipannatà); dengan memiliki sifat-sifat ini (yang menjadi penyebab), mereka layak diberi persembahan yang dibawa dari jauh (âhuneyyo), layak diberikan tempat bernaung (Pàhuneyyo), layak diberi persembahan yang baik (dakhineyya), layak diberi penghormatan (añjali-karaṇīya), dan mereka adalah lahan yang terbaik bagi makhluk-makhluk untuk menanam benih kebajikan (anuttara-puññakkhetta lokassa).

Raja melanjutkan tulisannya:

“Para anggota keluarga yang berasal dari kelahiran yang tinggi dan berperilaku baik, mendengar sabda Buddha dan melepaskan keduniawian untuk menjadi bhikkhu. Beberapa melakukannya dengan meninggalkan kemewahan seorang raja, beberapa lainnya meninggalkan kemewahan seorang pangeran mahkota, beberapa lainnya lagi meninggalkan kemewahan seorang jenderal, dan seterusnya. Setelah menjadi bhikkhu, mereka menjalani kehidupan mulia.”

Setelah kata-kata pengantar ini, sehubungan dengan kehidupan mulia, raja menuliskan sesuatu mengenai moralitas rendah (cūḷà-sīla), moralitas menengah (majjhima-sīla), moralitas tinggi (mahà-sīla), dan lain-lain, seperti yang terdapat pada Brahmajàla Sutta. Ia juga menuliskan tentang pengendalian enam indria, melatih perhatian dengan tekun (sati-sampajañña), kepuasan terhadap empat kebutuhan hidup, sembilan jenis tempat tinggal yang layak untuk berlatih meditasi, mengatasi lima rintangan (nīvaraṇa), mempersiapkan objek-objek meditasi (kasiṇa) untuk melatih pikiran, pengembangan Jhàna dan kekuatan adialami, tiga puluh delapan jenis meditasi, dan seterusnya, semuanya menuju pencapaian Kearahattaan.

Setelah menjelaskan secara terperinci enam belas jenis perhatian terhadap pernapasan (ànàpànasati) sebagai objek meditasi, raja memuji para siswa Buddha di dalam Saṁgha:

Ye puggalà aṭṭhasataṁ pasaṭṭhà
cattàri etàni yugàni honti.
te dakkhiṇeyyà sugatassa sàvakà
etesu dinnàni mahapphalàni.
idampi Saṁgha ratanaṁ paṇītaṁ
etena saccena suvatthi hotu.


Sang raja menambahkan, “Ajaran Buddha beserta Tiga Latihan-Nya (sikkhà) adalah indah pada permulaan, indah pada pertengahan, dan indah pada akhirnya. Ajaran-Nya pasti mengarah menuju Pembebasan dari saṁsàra. Temanku, Pukkusàti, aku ingin mengajakmu untuk melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhu jika engkau bisa.”

Raja Bimbisàra kemudian menggulung kain emas itu, membungkusnya dengan kain berkualitas baik, selanjutnya menyimpannya di dalam peti terbuat dari kayu cendana, peti kayu cendana itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah peti emas, peti emas dimasukkan ke dalam peti perak, peti perak dimasukkan ke dalam peti batu delima, peti batu delima dimasukkan ke dalam peti batu koral, peti batu koral dimasukkan ke dalam peti batu delima jingga. Peti batu delima jingga dimasukkan ke dalam peti batu delima lurik (masàragalla), peti batu delima lurik dimasukkan ke dalam peti kristal, peti kristal dimasukkan ke dalam peti gading, peti gading dimasukkan ke dalam peti sepuluh permata, peti sepuluh permata dimasukkan ke dalam peti bambu, peti bambu dimasukkan ke dalam kotak cendana, kotak cendana dimasukkan ke dalam kotak emas, kotak perak, kotak batu delima, kotak koral, kotak batu delima jingga, kotak batu delima lurik, kotak kristal, kotak gading, kotak sepuluh permata, dan kotak bambu berturut-turut, satu kotak di dalam kotak lainnya.

Kemudian kotak bambu itu dimasukkan ke dalam peti kayu cendana, peti kayu cendana dimasukkan ke dalam peti emas, kemudian seperti sebelumnya, ke dalam peti perak, peti batu delima, peti koral, peti batu delima jingga, peti batu delima lurik, peti kristal, peti gading, peti sepuluh permata, dan peti bambu berturut-turut.

Kemudian setelah membungkus peti bambu itu dengan sehelai kain berkualitas baik, dan menyegelnya dengan stempel kerajaan, raja memerintahkan para menterinya. “Hiaslah jalan-jalan dalam wilayah kekuasaanku, semua jalan harus memiliki lebar delapan usabha, dua bagian masing-masing dua usabha lebarnya di kedua sisi jalan harus diratakan, dan bagian tengah yang lebarnya empat usabha harus dihias dengan hiasan kerajaan.”

(1 usabha = 20 yaṭṭhi, 1 yaṭṭhi = 7 ratanaṃ, 1 ratanaṃ = 2 vadatthi, 1 vadatthi = 12 aṅgulaṃ, 1 aṅgulaṃ = 1 inchi. Dengan demikian 1 usabha = 280 kaki.)

Kemudian raja mempersiapkan tempat duduk di atas seekor gajah istana yang berhiasan penuh, menaunginya dengan sebuah payung putih, menyapu jalan-jalan di kota dan memerciknya dengan air. Bendera dan umbul-umbul, dan spanduk dipasang di mana-mana. Di kedua sisi jalan, dipasang hiasan pohon-pohonan, kendi-kendi berisi air, bunga-bunga harum, dan indah. Utusan-utusan dikirim ke semua kepala daerah untuk menyampaikan pesan, “Kalian harus memberi hormat kepada hadiah kerajaan saat ia melintasi wilayah kalian.”

Megah dengan segala tanda-tanda kebesaran, dan disertai oleh para menterinya, raja berangkat, membawa hadiah suci menuju perbatasan diringi upacara yang megah dan berbagai alunan musik. Diam-diam ia memberitahu wakilnya yang bertanggung jawab menyerahkan hadiah itu, “Aku ingin temanku menerima hadiah ini tidak di depan permaisurinya tetapi di teras atas istananya.”

Sang raja memuliakan hadiah sucinya dengan hormat dan menganggap perjalanannya sebagai perjalanan mengunjungi Buddha di daerah perbatasan. Kemudian ia kembali ke Kota Ràjagaha.

Para gubernur dan walikota memperbaiki jalan-jalan dengan cara yang sama dan mengirimkan hadiah suci itu dari satu tempat ke tempat lainnya.

Penerimaan Oleh Raja Pukkusàti
Raja Pukkusàti juga membersihkan jalan-jalan dari perbatasan hingga ke dalam kota, menghias kota dengan menerima hadiah suci itu dengan penuh kemegahan. Hadiah suci itu secara ajaib tiba di Takkasilà bertepatan pada hari uposatha. Sang menteri yang membawa hadiah itu menyampaikan pesan kepada raja yang ia terima secara lisan dari Raja Bimbisàra.

Mendengar pesan itu, Raja Pukkusàti melakukan pengaturan untuk memberikan kenyamanan para tamu dan mengambil sendiri hadiah itu dan pergi ke lantai atas istananya. Ia menempatkan penjaga di pintu untuk mencegah orang masuk ke dalam istana, kemudian ia membuka jendela, menempatkan hadiah itu di tempat yang tinggi dan kemudian ia duduk di tempat yang lebih rendah. Kemudian ia membuka segel kerajaan dan kain penutup bagian luar dan seteleh membuka kotak itu satu demi satu, ia melihat kotak kayu cendana yang terletak paling dalam, ia menyimpulkan, “Cara hadiah ini dibungkus sangat berbeda dengan hadiah-hadiah duniawi lainnya. Ini pasti sebuah ratana yang telah muncul di Wilayah Tengah dan layak diperhatikan.”

Kemudian raja membuka peti harum itu, membuka segel kerajaan dan memegang kain berkualitas baik itu di kedua sisinya, ia membuka gulungan itu dengan hati-hati dan melihat gulungan emas. Ia terheran menatap tulisan indah itu, huruf-hurufnya sempurna membentuk tulisan tangan yang indah. Raja membaca huruf demi huruf dalam pesan itu.

Saat ia membaca ciri-ciri mulia Buddha, yang dimulai dengan “Telah muncul di dunia ini, Buddha,” ia merasakan kegembiraan luar biasa sehingga bulu di sembilan puluh sembilan ribu pori-porinya berdiri. Ia bahkan tidak menyadari posisi berdiri atau duduknya. Ia sangat bersyukur saat ia berpikir mengenai kesempatan yang ia miliki. Ia berterima kasih kepada temannya Raja Bimbisàra, karena memberinya kesempatan untuk mendengarkan pesan mengenai Buddha-ratana yang sangat sulit terdengar bahkan dalam masa jutaan kappa.

Karena tidak sanggup membaca lebih lanjut. Raja Pukkusàti duduk sambil merenung hingga kegembiraannya berangsur-angsur berkurang. Kemudian ia melanjutkan membaca ciri-ciri mulia Dhamma yang dimulai dengan svàkkhàta. Raja mengalami kegembiraan seperti sebelumnya. Duduk merenung hingga kegembiraannya berangsur-angsur berkurang, ia membaca ciri-ciri kemuliaan Saṁgha yang dimulai dengan Suppaṭipanna dan sekali lagi ia mengalami kegembiraan seperti sebelumnya.

Raja Pukkusàti Mencapai Jhàna dan Menjadi Bhikkhu
Kemudian raja membaca bagian terakhir dari gulungan kain emas itu yang menjelaskan tentang meditasi dengan objek perhatian terhadap pernapasan. Ia bermeditasi sesuai instruksi dari tulisan itu dan mencapai Jhàna Råpàvacara penuh. Ia melewatkan waktunya menikmati kebahagiaan Jhàna tanpa mengizinkan siapa pun datang menghadapnya kecuali seorang pelayan muda. Demikianlah ia melewatkan waktunya selama setengah bulan (lima belas hari).

Penduduk kota berkumpul di halaman istana dan menuntut kemunculan raja dengan berkata, “Sang raja berhenti memeriksa pasukan atau menikmati hiburan sejak saat ia menerima hadiah kerajaan. Ia juga berhenti memberikan keputusan-keputusan kerajaan. Kami ingin raja memperlihatkan hadiah kerajaan yang dikirimkan oleh temannya Raja Bimbisàra. Beberapa raja berniat mencaplok sebuah negeri dengan memikat penguasanya dengan hadiah-hadiah. Apakah yang sedang dilakukan oleh raja kita sekarang?”

Ketika raja mendengar teriakan-teriakan itu, ia merenungkan apakah ia akan tetap bekerja demi kesejahteraan negerinya atau mengikuti ajaran Buddha. Kemudian ia berpikir, “Tidak ada perhitungan matematis yang dapat menghitung banyaknya kelahiran yang telah kualami sebagai seorang penguasa dari sebuah kerajaan. Oleh karena itu aku akan berlatih mempraktikkan ajaran Buddha.”

Dengan pikiran demikian, ia mengambil pedang yang diletakkan di dekat tempat tidurnya, memotong rambutnya, membuka jendela dan melemparkan gulungan rambutnya beserta pengikat rambutnya yang terbuat dari batu delima ke tengah-tengah kerumunan, dan berkata, “Orang-orangku! Ambillah gulungan rambutku dan perlakukan ia sebagai raja.”

Para penduduk menerima gulungan rambut beserta pengikat rambut batu delima dan berkata dengan sedih, “O Raja Besar, apakah semua raja yang menerima hadiah dari temannya seperti engkau?”

Rambut Raja Pukkusàti panjangnya selebar dua jari tangan seperti rambut Bodhisatta pada malam Beliau melepaskan keduniawian.

Kemudian raja menyuruh pelayan mudanya pergi ke pasar untuk membeli dua helai jubah celup dan sebuah mangkuk tanah. Kemudian ia berkata, “Aku mempersembahkan kebhikkhuanku kepada Yang Mulia Buddha yang layak mendapat penghormatan di dunia ini,” ia mengenakan sehelai jubah sebagai jubah bawah, dan mengenakan sehelai lainnya sebagai jubah atas dan, dengan mangkuk tergantung di bahu kirinya dan sebatang tongkat di satu tangan, ia melangkah dua atau tiga kali di luar istana untuk melihat apakah ia sudah terlihat layak sebagai seorang bhikkhu. Ia gembira mengetahui bahwa ia pantas menjadi bhikkhu. Kemudian ia membuka pintu utama dan melangkah turun dari istananya.

Para penari dan orang-orang lainnya yang menunggu berturut-turut di tiga pintu melihat Bhikkhu Pukkusàti turun, tetapi mereka tidak mengenali raja. Mereka menduga bahwa seorang Pacceka Buddha telah datang untuk memberikan khotbah kepada raja. Hanya setelah mereka naik ke tingkat tertinggi istana itu dan secara saksama memeriksa tempat duduk raja, baru mereka menyadari kepergian raja dan mereka seketika menangis bagaikan orang-orang yang terperangkap di dalam perahu yang tenggelam di tengah lautan.

Saat Bhikkhu Pukkusàti sampai di tanah, semua penduduk dan pasukan mengelilinginya dan menangis sedih. Para menteri berkata kepada Pukkusàti, “Raja Besar! Raja-raja di Wilayah Tengah sangat licik. Engkau sebaiknya pergi hanya setelah mengirim utusan dan menyelidiki untuk memastikan apakah Buddha-ratana telah benar-benar muncul di dunia ini atau tidak. Sementara itu, engkau sebaiknya kembali ke istana.”

Tetapi Bhikkhu Pukkusàti tetap pergi sambil berkata, “Teman-teman, aku memercayai temanku, Raja Bimbisàra. Temanku Raja Bimbisàra tidak pernah berkata bohong kepadaku. Engkau pergilah.”

Namun para menteri dan para penduduk tetap mengikuti raja.

Pukkusàti kemudian membuat tanda di atas tanah dengan tongkatnya dan bertanya kepada para penduduk, “Milik siapakah negeri ini?”

mereka menjawab, “Raja Besar, ini adalah negerimu.”

Kemudian bhikkhu itu berkata, “Siapa yang menghancurkan tanda ini harus dihukum dengan kuasa dari raja.”

Dalam Mahàjanaka Jàtaka, Ratu Sīvalidevī tidak berani menghapus garis yang digambar di tanah oleh Bodhisatta, Raja Mahà Janaka. Maka dengan cerdik ia bergulingan di tanah mengakibatkan garis itu terhapus dan kemudian mengikuti raja. Para penduduk juga mengikuti melalui jalan yang telah dibuka oleh ratu. Tetapi dalam hal garis yang digambar oleh Raja Pukkusàti, para penduduk tidak berani menghapusnya dan hanya bisa menangis memandangi garis itu.

Raja Pukkusàti pergi sendirian tanpa mengajak seorang pelayan atau budak yang akan menyediakan sikat gigit atau air untuk mencuci muka sepanjang perjalanannya.

Ia berjalan sendirian, menyadari kenyataan bahwa “Guruku, Buddha melepaskan keduniawian (saat masih seorang Bodhisatta) dan pergi sendirian untuk menjadi bhikkhu.”

Tergerak untuk mengikuti sejauh mungkin teladan yang diberikan oleh Buddha dan mengingat bahwa Buddha tidak pernah menggunakan kendaraan, ia bahkan tidak memakai sandal dan bahkan tidak menggunakan payung yang terbuat dari daun sekalipun. Para penduduk memanjat pohon, tembok-tembok kota, menara-menara atau tangga-tangga yang terletak di tembok atau benteng, dan lain-lain untuk melihat kepergian raja mereka sendirian.

Raja Pukkusàti berpikir, “Aku harus melakukan perjalanan ini. Aku tidak mampu membiayai perjalanan ini sendirian.”

Maka ia mengikuti serombongan pedagang. Karena ia berjalan kaki di atas tanah yang kasar di bawah terik matahari, telapak kakinya pecah dan luka, menyebabkan sakit dan penderitaan luar biasa.

Saat rombongan pedagang itu berhenti dan mendirikan kemah dari dahan-dahan dan daun-daunan, Pukkusàti juga berhenti dan duduk di bawah sebatang pohon. Ia memasuki Jhàna Keempat melalui meditasi pernapasan, melenyapkan kelelahannya dan melewatkan waktunya dalam kebahagiaan Jhàna.

Keesokan paginya, ia membersihkan badannya dan kembali mengikuti rombongan pedagang itu. Ketika tiba waktunya makan pagi, para pedagang itu mengambil mangkuknya dan memberinya makanan. Kadang-kadang makanannya belum cukup matang, kadang-kadang terlalu lunak, kadang-kadang kasar berpasir, kadang-kadang terlalu asin, dan kadang-kadang kurang garam. Bhikkhu itu tidak peduli apakah makanannya lunak atau keras, kasar atau lembut, asin atau kurang garam, ia memakannya bagaikan memakan makanan surgawi. Demikianlah akhirnya ia tiba di Sàvatthī, setelah melakukan perjalanan sejauh seratus sembilan puluh dua yojanà. Meskipun rombongan pedagang itu melewati Vihàra Jetavana di kota, ia tidak pernah berpikir untuk bertanya di mana Buddha berada. Hal ini karena:
  1. hormatnya kepada Buddha, Sepanjang perjalanannya, Pukkusàti memusatkan pikirannya ke arah Buddha tanpa memikirkan hal-hal lainnya. Saat mendekati Jetavana, dengan penuh hormat kepada Buddha, ia bahkan tidak pernah bertanya-tanya di manakah Buddha berdiam. Pertanyaan mengenai Buddha tidak pernah muncul dalam dirinya. dan

  2. pesan dari Raja Bimbisàra yang mengatakan bahwa “Buddha muncul di dunia ini.” Dari pesan itu Pukkusàti yakin bahwa Buddha berdiam di Ràjagaha. Maka, walaupun ia melewati Vihàra Jetavana, ia tidak menanyakan tempat kediaman Buddha dan terus melanjutkan perjalanannya, akhirnya tiba di Ràjagaha, empat puluh lima yojanà jauhnya dari Sàvatthī.
Sesampainya di Ràjagaha setelah matahari terbenam, Pukkusàti melihat banyak vihàra dan menyimpulkan dari pesan Raja Bimbisàra bahwa Buddha berdiam di Ràjagaha, ia bertanya kepada para penduduk mengenai di mana Buddha menetap. Para penduduk bertanya dari mana ia datang dan mendengar bahwa ia datang dari utara, mereka berkata, “Yang Mulia, engkau berjalan terlalu jauh. Buddha menetap di Sàvatthī, empat puluh lima yojanà jauhnya dari Ràjagaha ke arah dari mana engkau datang.”

Bhikkhu itu berpikir, “Sekarang, sudah terlalu larut. Aku tidak dapat mengunjungi Buddha hari ini. Aku akan melewatkan malam ini di sini dan menjumpai Buddha besok.”

Ia bertanya kepada para penduduk mengenai di mana tempat untuk para petapa yang datang ke Ràjagaha setelah matahari terbenam. Para penduduk menunjukkan sebuah gubuk kecil milik seorang pembuat tembikar sebagai tempat peristirahatan bagi bhikkhu-bhikkhu yang berkunjung. Dengan izin si pembuat tembikar, bhikkhu itu memasuki gubuk dan duduk melewatkan malam itu.

Kedatangan Buddha
Pada dini hari itu, Buddha memeriksa dunia makhluk-makhluk hidup dan melihat Pukkusàti, Buddha berpikir, “Orang ini yang berasal dari keluarga baik, membaca pesan yang dikirim oleh temannya Raja Bimbisàra dan setelah meninggalkan wilayah kekuasaannya Takkasilà, yang luasnya seratus yojanà, ia menjadi bhikkhu untuk-Ku. Hari ini ia akan tiba di Ràjagaha setelah berjalan sejauh seratus sembilan puluh dua yojanà dan empat puluh lima yojanà lagi melewati Sàvatthī.”

“Jika Aku tidak menjumpainya, ia akan melewati malam ini dan meninggal dunia tanpa mencapai tiga tingkat Buah yang lebih rendah. Jika Aku menjumpainya, ia akan menembus tiga tingkat Buah yang lebih rendah di dalam Jalan Mulia dan terbebaskan. Aku telah mengembangkan dan melatih Kesempurnaan selama berkappa-kappa karena welas asih kepada makhluk-makhluk. Sekarang Aku akan pergi menjumpainya demi kemajuan spiritualnya.”

Maka pagi-pagi sekali Buddha membersihkan badan-Nya dan memasuki Sàvatthī bersama para bhikkhu untuk mengumpulkan dàna makanan. Sore harinya, Ia meninggalkan kota itu, beristirahat sejenak di dalam Kuṭī Harum dan berpikir, “Orang ini yang berasal dari keluarga baik telah melakukan sesuatu untuk-Ku yang sangat sulit dilakukan oleh orang-orang lain. Setelah meninggalkan kekuasaannya, Takkasilà yang luasnya seratus yojanà, ia pergi sendirian tanpa didampingi oleh seorang pelayan untuk menyediakan air pencuci mukanya.”

Buddha memikirkan jerih payah bhikkhu itu dan tanpa mengajak Yang Mulia Sàriputta atau Moggallàna atau siswa lainnya, Beliau meninggalkan Sàvatthī, membawa mangkuk dan jubah-Nya sendiri.

Buddha tidak terbang di angkasa atau memperpendek jarak perjalanan itu, tetapi Beliau berjalan kaki karena mengetahui bahwa demi diri-Nya bhikkhu itu tidak mengendarai kereta kuda atau gajah atau tandu emas, tetapi ia datang bertelanjang kaki tanpa sandal atau payung.

Dengan kemegahan seorang Buddha lengkap dengan tanda-tanda istimewa-Nya dan enam berkas sinar tubuh-Nya, dan lain-lain, yang menyelubungi-Nya bagaikan awan menyelimuti bulan, Buddha melakukan perjalanan sepanjang sore hari itu (kira-kira enam jam) dan menempuh jarak sejauh empat puluh lima yojanà, Ia tiba di gubuk si pembuat tembikar saat matahari terbenam persis sesaat setelah Bhikkhu Pukkusàti memasuki gubuk itu. Buddha datang dengan menyembunyikan kemuliaan-Nya agar bhikkhu itu dapat beristirahat dengan nyaman. Seseorang yang kelelahan tidak dapat menembus Dhamma.

Ketika Buddha tiba di dekat gubuk si pembuat tembikar, Beliau tidak memasukinya seperti layaknya seorang Buddha Yang Mahatahu, melainkan Ia berdiri di pintu masuk dan meminta izin kepada bhikkhu itu untuk beristirahat di sana. Pukkusàti menganggap Buddha adalah seorang bhikkhu biasa dan dengan senang hati memberikan izin kepada-Nya dengan berkata, “Temanku, gubuk ini sangat tenang. Tidak sempit. Engkau boleh tinggal dengan nyaman sesuka-Mu di sini.”

Buddha yang sangat halus dan lembut meninggalkan Kuṭī Harum yang seperti istana surgawi dan memasuki gubuk si pembuat tembikar yang kotor dan menjijikkan, penuh dengan debu, pecahan kendi, jerami, dan kotoran ayam dan babi. Di sini, di tengah-tengah kotoran itu, Buddha membuat alas tidur dari rumput, menghamparkan jubah dan duduk dengan tenang seolah-olah berada di dalam kamar yang harum oleh dupa surgawi.


Demikianlah kedua orang yang berasal dari keluarga khattiya itu, yang memiliki jasa kebajikan masa lampau, yang meninggalkan kemewahan istana untuk menjadi bhikkhu, yang memiliki kulit keemasan, yang telah mencapai tingkatan yang teramat dalam, Buddha dan Pukkusàti, keduanya duduk bermeditasi di dalam gubuk si pembuat tembikar, menyebabkan gubuk itu terlihat sangat indah bagaikan gua kristal tempat tinggal dua raja singa.

Buddha meninggalkan Sàvatthī pada siang hari, berjalan kaki menuju Ràjagaha yang jauhnya empat puluh lima yojanà, sampai di gubuk pembuat tembikar saat matahari terbenam, memasuki gubuk itu atas izin bhikkhu tersebut dan tenggelam dalam Phala Samàpatti selama enam jam. Keluar dari Jhàna saat tengah malam, Beliau membuka kedua mata-Nya, yang memiliki lima jenis kepekaan, bagaikan membuka jendela istana emas. Kemudian Beliau melihat Bhikkhu Pukkusàti duduk tenggelam dalam Jhàna Keempat (melalui objek pernapasan) bagaikan patung emas, tanpa adanya gerakan tangan, kaki atau kepala, tenang dan tidak terganggu bagaikan tiang pintu yang kokoh. Buddha berpikir bahwa posisi bhikkhu itu sangat mengesankan dan memutuskan untuk memulai percakapan.

Dari keempat posisi tubuh, yaitu, berjalan, berdiri, berbaring, dan duduk, tiga posisi pertama kurang terhormat. Tangan, kaki, dan kepala seorang bhikkhu yang sedang berjalan selalu bergerak. Tubuh seorang bhikkhu yang sedang berdiri cenderung kaku. Posisi berbaring juga tidak menyenangkan. Sesungguhnya, hanya posisi duduk dari seorang bhikkhu yang setelah menyapu tempat meditasinya pada sore hari, menghamparkan alas duduknya, membersihkan tangan dan kaki, duduk bersila merupakan posisi yang terhormat. Bhikkhu Pukkusàti duduk bersila dalam Jhàna Keempat melalui meditasi pernapasan yang menyenangkan Buddha.

Buddha bertanya kepada bhikkhu itu kepada siapakah ia mengabdikan kehidupan suci yang ia jalani, siapakah gurunya dan ajaran siapakah yang ia jalankan. Bhikkhu itu menjawab bahwa ia mengabdikan hidupnya kepada Buddha dan seterusnya.

Kemudian, Buddha bertanya lagi di manakah Yang Termulia, yang telah mencapai Pencerahan Sempurna berdiam. Bhikkhu Pukkusàti menjawab, “Temanku, ada sebuah kota di wilayah utara. Yang Termulia, yang telah mencapai Pencerahan Sempurna, sekarang menetap di kota itu.”

Ketika Buddha bertanya apakah ia pernah bertemu dengan Buddha, dan jika bertemu dengan-Nya sekarang apakah ia dapat mengenali-Nya, Pukkusàti menjawab bahwa ia belum pernah betemu dengan Beliau dan ia tidak akan mengenali-Nya jika ia bertemu dengan-Nya sekarang.

Mengetahui bahwa kelelahan bhikkhu itu telah lenyap, Buddha memutuskan untuk membabarkan khotbah kepadanya, raja “yang telah mengabdikan kebhikkhuannya untuk-Ku,” Buddha berkata, “Bhikkhu! Aku akan mengajarkan engkau. Dengarkanlah ajaran-Ku. Ingatlah dengan baik. Aku akan mengajarkan Dhamma dengan saksama kepadamu.”

(Hingga saat ini Bhikkhu Pukkusàti masih belum mengetahui bahwa temannya adalah Buddha.)

Pukkusàti telah meninggalkan kerajaannya setelah membaca pesan dari temannya Raja Bimbisàra dan menjadi bhikkhu agar dapat mendengarkan Dhamma manis dari Buddha. Ia telah melakukan perjalanan yang sangat jauh tanpa bertemu dengan siapa pun yang peduli mengajarkannya. Oleh karena itu, mengapa ia harus menolak pengajaran dari temannya? Bagaikan orang yang kehausan, ia sangat ingin meminum air Dhamma. Maka dengan senang hati ia setuju untuk mendengarkan ajaran itu. Kemudian Buddha memberikan ringkasan dari Dhàtuvibhaïga Sutta sebagai berikut:

“Bhikkhu! Seseorang atau makhluk terdiri dari enam unsur, enam organ indria, delapan belas pikiran, empat jenis pendukung. Ia yang hidup mengandalkan empat pendukung ini adalah bebas dari arus keangkuhan yang lahir dari khayalan diri, ketika arus keangkuhan lenyap dari dalam diri seorang bhikkhu, ia dikatakan telah melenyapkan àsava atau kotoran batin.

(1) ia harus penuh perhatian terhadap Pengetahuan Vipassanà (Pandangan Cerah),
(2) ia harus mengatakan Kebenaran,
(3) ia harus berusaha meninggalkan kotoran moral,
(4) ia harus melatih Dhamma hanya untuk memadamkan kotoran batin.”

(Demikianlah ringkasan dari Dhàtuvibhaïga Sutta.)

Setelah menyebutkan dasar-dasar Dhamma ini, Buddha menjelaskan satu demi satu secara terperinci. (Dhàtuvibhaïga Sutta dari Majjhima-Nikàya).

Pukkusàti Mencapai Kesucian Anàgàmi
Ketika Buddha menjelaskan Dhamma yang pertama, yaitu, perhatian terhadap Pengetahuan Vipassanà, Buddha membabarkan hingga ke tingkat kesucian Arahatta dan Pukkusàti berhasil mencapai tiga tingkat Buah yang lebih rendah karena kebajikan masa lampaunya dan menjadi seorang Ariya (seorang mulia) dengan tingkat kesucian Anàgàmī.

Misalnya, sewaktu seorang raja sedang memakan makanan yang terdiri dari berbagai rasa di dalam mangkuk emas, ia akan mengambil nasi sebanyak yang sebanding dengan ukuran mulutnya. Ketika seorang pangeran kecil yang duduk di pangkuannya, ingin makan, raja akan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, dari nasi yang diambil untuk dimakannya. Anak itu akan memakan sejumlah yang sebanding dengan ukuran mulutnya. Sedangkan sisanya akan dimakan oleh raja itu atau dikembalikan ke dalam mangkuk emas. Demikian pula, Buddha, Raja Dhamma, membabarkan Dhamma yang mengarah kepada Kearahattaan, khotbah yang sesuai dengan kekuatan intelektualnya dan berdasarkan kebajikan masa lampaunya. Bhikkhu Pukkusàti hanya dapat mengkonsumsi tiga perempat makanan Dhamma itu, yang adalah Jalan, dan menjadi Anàgàmī Ariya.

Pukkusàti tidak meragukan Dhamma sebelum mencapai kesucian Anàgàmī-Phala dan saat ia mendengarkan khotbah Buddha mengenai kelompok-kelompok kehidupan, organ-organ indria, unsur-unsur atau bentukan-bentukan pikiran, dan seterusnya. Tetapi ia masih ragu apakah manusia cerdas yang terlihat seperti seorang biasa dan yang sedang mengajarinya itu adalah seorang Buddha karena ia mendengar bahwa Buddha sering bepergian ke beberapa tempat dengan menyamar. Namun demikian, setelah ia mencapai Buah Anàgàmī, ia sama sekali tidak meragukan bahwa gurunya itu adalah Buddha.

Sebelum ia mengenali Buddha, ia memanggil Buddha dengan sebutan “Temanku!”, ia belum meminta maaf atas kekeliruannya karena Buddha masih membabarkan khotbah-Nya yang berurutan, dan bhikkhu itu belum berkesempatan untuk meminta maaf.

Pukkusàti Memohon Penahbisan
Pada akhir khotbah tersebut terjadi percakapan antara Buddha dan Bhikkhu Pukkusàti.

Pukkusàti, “Yang Mulia, guru para dewa dan manusia, telah datang ke sini karena welas asih terhadapku! Buddha yang membabarkan Dhamma yang sempurna telah datang ke sini karena welas asih terhadapku! Yang Mulia, yang memahami semua Dhamma telah datang ke sini karena welas asih terhadapku.”

(Sambil mengucapkan kata-kata gembira, ia bangkit dan meletakkan kepalanya di kaki Buddha dan menambahkan)

“Buddha Yang Agung! Karena kebodohanku, aku telah melakukan kesalahan. Aku telah menganggap bahwa Engkau layak kupanggil “temanku” (dan aku memang telah keliru memanggil-Mu demikian). Buddha Yang Agung, mohon maafkan aku atas kekeliruan ini yang harus kukendalikan pada masa mendatang.”

Buddha, “Bhikkhu! Karena ketidaktahuanmu, engkau telah melakukan kekeliruan. Engkau menganggap-Ku layak dipanggil sebagai “teman” (dan engkau memang memanggil-Ku demikian). Bhikkhu! Aku memaafkan engkau atas kekeliruan ini karena engkau mengakuinya dan memperbaiknya. Kelak engkau harus mengendalikan dirimu. Penebusan dan pengendalian diri demikian berguna bagi kesejahteraan mereka yang menjalani ajaran-Ku.”

Pukkusàti, “Buddha Yang Agung, izinkan aku menerima penahbisan dari-Mu.”

Buddha, “Apakah engkau memiliki mangkuk dan jubah(-mu sendiri)?”

Pukkusàti, “Tidak, Buddha Yang Mulia, aku tidak memilikinya.”

Buddha, “Bhikkhu! para Buddha tidak menahbiskan mereka yang tidak memiliki mangkuk dan jubah.”

Yang Mulia Pukkusàti sangat gembira atas ajaran Buddha. Ia mengungkapkan penghargaannya, bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Buddha dan pergi mencari mangkuk dan jubahnya.

Pukkusàti pergi mencari mangkuk dan jubahnya setelah fajar.

Fajar menyingsing saat Buddha mengakhiri khotbah-Nya dan enam berkas sinar tubuh Buddha memancar. Buddha memancarkan enam berkas sinar segera setelah khotbah-Nya berakhir. Seluruh gubuk itu menjadi terang benderang. Enam berkas sinar itu memancar berkelompok, seolah-olah menyelimuti segala penjuru dengan kain emas atau mencerahkan segala penjuru dengan bunga-bunga beraneka warna. Buddha bertekad agar diri-Nya terlihat oleh para penduduk kota dan ketika para penduduk melihat Buddha, mereka menyebarkan berita akan keberadaan Buddha di dalam gubuk dan melaporkannya kepada Raja Bimbisàra.

Raja Bimbisàra Berkunjung dan Memberi Hormat
Ketika Raja Bimbisàra mendengar laporan itu, ia mendatangi gubuk si pembuat tembikar dan setelah memberi hormat, ia bertanya kepada Buddha mengenai kapan Beliau tiba. Buddha menjawab bahwa Ia tiba saat matahari terbenam kemarin. Raja kemudian bertanya tentang tujuan kunjungan-Nya. Kemudian Buddha berkata, “Raja Besar, temanmu Raja Pukkusàti membaca pesanmu dan setelah melepaskan keduniawian untuk menjadi bhikkhu, ia melakukan perjalanan untuk menemui-Ku, tetapi setelah berjalan dengan sia-sia sejauh empat puluh lima yojanà melewati Sàvatthī, ia memasuki gubuk si pembuat tembikar dan duduk di sana.”

“Demi kemajuan spiritualnya Aku datang berjalan kaki dan membabarkan khotbah kepadanya. Pukkusàti sekarang telah mencapai Buah dari tiga tingkat kesucian yang lebih rendah dan menjadi seorang Anàgàmī Ariya.”

Mendengar hal ini, raja terkejut dan bertanya kepada Buddha di mana temannya berada.

Buddha menjawab bahwa ia sedang mencari mangkuk dan jubahnya untuk penahbisan. Raja Bimbisàra bergegas berjalan ke arah ke mana temannya pergi mencari mangkuk dan jubah. Buddha kembali melalui angkasa ke Kuṭī Harum di Vihàra Jetavana.

Pukkusàti Meninggal Dunia dan Terlahir Kembali di Alam Brahmà
Dalam mencari mangkuk dan jubah, Pukkusàti tidak mendatangi temannya Raja Bimbisàra atau para pedagang yang pernah berkunjung ke Takkasilà. Ia menganggap bahwa tidaklah layak baginya mencari ke sana kemari, dengan membeda-bedakan yang baik dan yang buruk bagaikan burung. Ia memutuskan untuk tidak mencari kain di kota besar, melainkan di tepi sungai, tanah pekuburan, tumpukan sampah atau jalan-jalan kecil. Maka ia mencoba mencari serpihan-serpihan kain di tumpukan sampah di pedesaan.

Selagi Pukkusàti sedang mencari-cari, seekor sapi gila jadi2an menabrak dan melukai dengan tanduknya.

Dalam keadaan lemah dan lapar, Pukkusàti meninggal dunia saat dilemparkan ke angkasa. Ketika jatuh ke atas tanah, ia berbaring di atas tumpukan sampah bagaikan patung emas. Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali di Alam Brahmà Avihà dan tak lama kemudian, ia menjadi Brahmà Arahanta setelah mencapai Kearahattaan.

Menurut Sagàthavagga Saṁyutta (Sutta kesepuluh dari Aditta Vagga dan Sutta keempat dari Nanatitthiya Vagga) ada tujuh orang yang mencapai Kearahattaan segera setelah kematian spontan mereka (upapital) di Alam Brahmà Avihà. Mereka adalah (1) Upaka, (2) Palagaṇḍa, (3) Pukkusàti, (4) Bhaddiya, (5) Khaṇḍadeva, (6) Bàhuraggi, dan (7) Siṅgiya.

Raja Bimbisàra berpikir, “Temanku Raja Pukkusàti meninggalkan kerajaannya setelah membaca pesanku dan melakukan perjalanan yang jauh dan sulit. Ia telah melakukan apa yang sulit dilakukan oleh orang-orang biasa. Aku akan memberikan penghormatan kepada temanku dengan cara yang sama seperti penghormatan kepada para bhikkhu.”

Ia menyebar orang-orangnya ke segala penjuru kota untuk mencari Raja Pukkusàti. Orang-orang itu menemukan raja itu terbaring mati bagaikan patung emas di atas tumpukan sampah. Mereka kembali dan melaporkan hal itu kepada Raja Bimbisàra.

Raja Bimbisàra pergi ke sana dan berdukacita atas kematian temannya, ia berkata, “Kami tidak berkesempatan memberikan penghormatan kepada teman kami sewaktu masih hidup. Sekarang ia telah meninggal dunia tanpa seorang pun yang menolongnya.”

Raja membawa jasad temannya menggunakan sebuah dipan kecil, meletakkannya di tempat yang layak dan karena tidak mengetahui bagaimana menghormati seorang bhikkhu yang telah meninggal dunia, ia memanggil petugas pemandi jenazah, memakaikan pakaian putih bersih dan menghiasnya bagaikan seorang raja.

Kemudian jenazah itu ditempatkan di atas sebuah tandu dan dihormati dengan semua jenis alat musik dan bunga-bunga harum, dibawa ke luar kota dan dikremasi dengan menggunakan kayu-kayu api harum. Tulang-belulangnya kemudian dikumpulkan dan disemayamkan di dalam sebuah cetiya.

Beberapa waktu kemudian, banyak bhikkhu di Sàvatthī mengunjungi Buddha. Mereka memberi hormat kepada Guru dan duduk di tempat yang layak, mereka berkata, “Buddha Yang Agung, Engkau telah membabarkan Dhamma kepada Pukkusàti. Orang itu telah meninggal dunia sekarang. Di manakah ia terlahir kembali?”

Kemudian Buddha menjawab, “Para bhikkhu, Pukkusàti adalah orang yang bijaksana. Ia melatih meditasi Vipassanà (Pandangan Cerah) sesuai Dhamma yang halus. Ia tidak menyulitkan Aku dalam hal Dhamma. Karena patahnya lima belenggu yang membawa ke alam-alam indria yang lebih rendah, ia terlahir kembali di Alam Brahmà Avihà dan akan mencapai kesucian Arahatta di Alam Brahmà Suddhàvàsa itu (Avihà adalah salah satu dari lima Alam Suddhàvàsa). Ia tidak mungkin kembali lagi ke alam-alam indria yang lebih rendah dari Alam Avihà itu.” [RAPB buku ke-2, hal.1754-1782 yg diambil dari Dhàtu-vibbaïga Sutta, Majjhima Nikàya]


Note:
Sapi gila itu merupakan jelmaan dari Yakhini, sejenis mahluk alam tertentu, yang membalas dendam padanya atas kejadian di kehidupan lampau.

Dalam salah satu kehidupan masa lampaunya, empat putra orang kaya menyewa seorang pelacur dan menikmatinya di suatu taman. Setelah selesai salah satu dari mereka mengusulkan untuk merampok perhiasan dan seribu keping perak milik pelacur itu. Ketiga temannya setuju. Mereka menyerang gadis itu dengan brutal. Gadis itu marah dengan pikiran, “Orang-orang jahat dan tidak tahu malu ini memanfaatkan diriku dengan penuh nafsu dan sekarang berusaha membunuhku karena serakah. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun terhadap mereka. Aku putus asa. Biarkan mereka membunuhku kali ini. Semoga aku terlahir menjadi raksasa pada masa depan dan mampu membunuh orang-orang ini berkali-kali!”

Pelacur itu wafat dengan menyimpan dendam itu dan terlahir berulang kali sebagai Yakkhini dan berulang kali juga menjadi pembunuh dalam wujud seekor Banteng/Sapi yang membuat tewas 4 (empat) korbannya.

Kisah 4 Pemuda tersebut yang lahir di jaman Buddha Gautama:

  1. (klik!) Tambadathika
    Ia tinggal di Savatthi, kerajaan Kosala pimpinan raja Pasenadi, setelah 55 tahun bertugas sebagai algojo ia pensiun.

    Di satu pagi, Tambadathika baru saja selesai masak makanan dan ketika hendak mengambil bubur nasi, YM Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhana Samapatti, berada di muka pintu rumahnya. Pada saat melihat Sariputta Thera, Tambadathika berpikir,

    "Meskipun dalam hidupku saya telah menghukum mati para pencuri, sekarang saya seharusnya mempersembahkan makanan ini kepada bhikkhu itu."

    Kemudian ia mengundang Sariputta Thera untuk datang ke rumahnya dan dengan hormat mempersembahkan bubur nasi tersebut dan setelah beliau selesai makan, Tambadathika memohon untuk diberikan pembabaran dhamma. YM sariputta kemudian mengajarkan Dhamma kepadanya, tapi Tambadathika tidak dapat memperhatikan, sebab ia begitu gelisah mengingat masa lalunya sebagai seorang penjagal.

    Ketika Sariputta Thera mengetahui hal ini dan menenangkan beliau, "Apakah ketika anda memenggal pencuri, pembunuh itu karena ingin membunuh mereka atau karena menjalankan perintah?"

    Ia menjawab, "Saya menjalankan perintah raja dan tidak berniat membunuh mereka?"

    YM Sariputta menanyakan, "Apakah anda merasa bersalah/tidak?"

    Ia menjawab, "Saya tidak bertanggung jawab terhadap pembunuhan tersebut. Jadi mestinya saya tidak perlu merasa bersalah"

    Mendengar itu, perasaannya menjadi tenang dan dapat dengan gembira mendengarkan pembabaran dhamma dari YM Sariputta yang membuatnya hampir mencapai Sotapanna.

    Setelah khotbah Dhamma berakhir, Tambadathika menyertai perjalanan Sariputta Thera sampai jarak tertentu, dan kemudian ia pulang kembali ke rumahnya. Ketika Tambadathika masih dalam kondisi batin yang bergembira mendapatkan pembabaran Dhamma, seekor sapi gila menghadang dan menerjangnya hingga tewas.

    Ketika Sang Buddha berada dalam pertemuan bhikkhu pada sore hari, para bhikkhu memberitahu beliau perihal kematian Tambadathika. Ketika ditanyakan di mana Tambadathika dilahirkan kembali, Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa meskipun Tambadathika telah melakukan perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma setelah mendengarnya dari Sariputta Thera, ia telah mencapai anulomaññana sebelum meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam sorga Tusita.

    Para bhikkhu sangat heran bagaimana mungkin seseorang yang melakukan perbuatan jahat seperti itu dapat memperoleh pahala demikian besar setelah mendengarkan Dhamma hanya sekali. Kepada mereka, Sang Buddha berkata,

    "Daripada suatu penjelasan panjang yang tanpa makna, lebih baik satu kata yang mengandung pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar."

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair ke-100 berikut ini:

    Daripada seribu kata yang tak berarti, adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya

    Silakan lihat juga, "Ternyata Masuk Surga itu Mudah!"

  2. (klik!) Suppabuddha
    Ia tinggal di Savatti, seorang pengemis berpenyakit kusta. Karena berharap banyak dapat sembuh dari penyakit Kusta, ia mencoba bertemu Sang Buddha Gotama. Akhirnya ia tiba dan duduk di bagian belakang kumpulan orang dan mendengarkan dengan penuh perhatian pembabaran dhamma yang disampaikan oleh sang Buddha dan diakhir kotbahnya Ia mencapai sotapanna [Berhasil menghancurkan belenggu: tidak tergoyahkan pada tiratna [Buddha, dhamma dan sangha], mempunyai standar sila yg tinggi, dan pemahaman yg benar mengenai Idappaccayata (sebab akibat, kasualita) ref: SN 12,57; AN 5,25).

    Ketika kerumunan orang tersebut sudah membubarkan diri, ia mengikuti Sang Buddha ke vihara. Ia berharap dapat memberitahukan kepada Sang Buddha tentang pencapaiannya.

    Sakka, raja para deva alam Tavatimsa rupanya terkesan dengan pencapaian tsb dan mencoba menguji Suppabuddha. Ia kemudian bersalin rupa menjadi seorang yg berpenampilan dermawan dan berkata, "Kamu hanya seoang miskin, hidup dari meminta-minta, tanpa seorang pun yang mendekati kamu. Saya dapat memberi kamu kekayaan yang sangat besar jika kamu mengingkari Buddha, Dhamma, dan Sangha dan katakan pula bahwa kamu tidak bermanfaat bagi mereka."

    Suppabuddha menjawab,"Sesungguhnya saya bukanlah orang miskin, tanpa seorang pun yang percaya. Saya orang kaya; saya meyakini tujuh ciri yang dimiliki oleh para ariya; saya mempunyai keyakinan (saddha), kesusilaan (sila), malu berbuat buruk (hiri), takut akan akibat jika berbuat buruk (ottappa), pembelajaran (suta), kedermawanan/murah hati (caga), dan kebijaksanaan (panna)."

    Deva sakka bersorak dihatinya dan mendahului Suppabuddha menemui Buddha dan menceritakan kekuatan keyakinan dari Suppabuddha. Buddha kemudian berkata, "Tidak mudah bagi 100 atau 1000 sakka sepertimu untuk menggoyahkan keyakinan Suppabuddha akan Buddha, Dhamma dan sangha".

    Setelah Suppabuddha sampai di vihara, ia melapor kepada Sang Buddha bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti.

    Suppabuddha setelah bertemu sang Buddha dengan persaan senang ia kemudian meninggalkan Vihara Jetavana namun ia dihadang dan kemudian diseruduk oleh seekor sapi -gila menghadang dan menerjangnya hingga ia tewas. Sang Buddha kemudian menyatakan ia terlahir di alam surga Tavatimsa, tempat sakka berada.

    Ketika berita kematian Suppabuddha sampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, di mana Suppabuddha dilahirkan kembali dan Sang Buddha menjawab bahwa Suppabuddha dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa, surga yang sama tempat Sakkha berada.

    Mengenai penyakit kustanya, Sang Buddha juga menerangkan kepada para bhikkhu bahwa di kehidupan lalunya Suppabuddha pernah menyebut, "Lepra" pada Pacceka Buddha Tagarasikhi karena jubahnya penuh tambal2an dan juga meludahinya [Ud V.3; UdA.279 ff]

    Kemudian Sang Buddha membabarkan syair ke-66 berikut ini:

    Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya memperlakukan diri sendiri seperti musuh; ia melakukan perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang pahit.

  3. (klik!) Bahiya Daruciriya
    Namanya berasal dari nama negeri di mana ia dilahirkan. kemudian lebih dikenal sebagai Bàhiya Dàrucīriya, ‘Bàhiya-berpakaian-serat’, karena ia memakai serat kayu sebagai pakaiannya]. Setelah menikah, pada suatu hari ia melakukan perjalanan laut ke-8 menuju Suvaṇṇabhåmi [Sekarang Burma] untuk suatu urusan dagang. Kapal yang ia tumpangi hancur oleh badai di laut dan semua orang kecuali dia, tewas. Dengan berpegangan pada selembar papan dari kapal yang hancur tersebut selama tujuh hari, dihanyutkan ombak hingga mencapai pantai di Kota pelabuhan Suppàraka.

    Sebelum berjumpa dengan orang-orang lain, ia menutupi tubuhnya yang telanjang. Ia mengambil tanaman-tanaman air dari sebuah waduk dan menyelimuti tubuhnya. Kemudian ia menggunakan sebuah kendi tua yang sudah usang sebagai mangkuk untuk menerima makanan.

    Penampilannya yang mengenaskan menarik perhatian banyak orang. “Jika ada seorang Arahanta di dunia ini, maka dia adalah Arahanta itu!”

    Begitulah mereka berbicara mengenainya. Mereka menganggap orang itu (orang suci menurut penilaian mereka) sedang menjalani praktik yang keras, dan menolak mengenakan pakaian yang pantas. Untuk membuktikan penilaian mereka itu, mereka memberikan pakaian baik kepadanya.

    Tetapi Bàhiya berpikir, “Orang-orang ini menerimaku karena pakaianku ini. Lebih baik aku tetap berpakaian seperti ini sehingga mereka tetap menghormatiku.”

    Karena itu ia menolak pakaian baik yang mereka berikan. Para penduduk menjadi lebih menghormatinya dan memberikan persembahan berlimpah kepadanya.

    Setelah memakan makanannya, yang diterimanya dari para penduduk, Bàhiya masuk ke dalam sebuah cetiya tradisional. Para penduduk mengikutinya ke sana. Mereka membersihkan tempat itu untuk dijadikan tempat tinggalnya. Bàhiya kemudian berpikir, “Karena penampilan luarku, orang-orang ini menunjukkan penghormatan tinggi kepadaku. Hal ini mengharuskanku untuk hidup sesuai penghormatan mereka. Aku harus tetap menjadi seorang petapa yang baik dan benar.”

    Ia mengumpulkan serat dari kayu dan, menjahitnya dengan benang ikat, kemudian memakainya sebagai pakaian buatan sendiri. (Sejak saat itu, ia mendapat julukan ‘Bàhiya-Dàrucīriya, Bàhiya-berpakaian-serat-kayu.’).

    Di kehidupan lalunya Bahiya, yaitu pada tahun-tahun terakhir Buddha Kassapa, ia bersama-sama dengan 6 orang lainnya pergi ke gunung yang tinggi dan curam dengan menggunakan tangga. Sampai di atas, mereka berdiskusi, “Bagi yang memiliki kepercayaan pada diri sendiri, ia harus mendorong tangga itu hingga jatuh.”

    Seluruh tujuh bhikkhu itu memilih untuk menetap di puncak gunung hingga mereka mencapai Pencerahan dan mereka bersama-sama mendorong tangga tersebut. “Sekarang, teman-teman, tekunlah menjalani praktik kebhikkhuan,” mereka saling memberikan nasihat sebelum memilih tempat tinggal mereka di puncak gunung tersebut untuk berlatih dengan tidak memedulikan kematian demi mencapai Pengetahuan Jalan. Dari ketujuh bhikkhu tersebut, yang tertua mencapai Kearahattaan pada hari kelima. Ia berbaik hati dengan mencoba menjadi petugas pemberi makanan bagi mereka, namun mereka menolaknya karena ingin menepati sumpah mereka sendiri. Pada hari ketujuh, bhikkhu tertua kedua mencapai Anàgàmī-Phala. Ia juga mencoba membantu teman-temannya dengan menjadi petugas pengumpul makanan, namun juga di tolak mereka. Saat meninggal dunia, bhikku kedua ini terlahir kembali di Alam brahma - Suddhàvàsa, alam tempat para Anagami dan di alam itu ia akan mencapai arahat. Segera setelah terlahir di alam brahmà itu, ia mengingat kehidupan lampaunya dan mengetahui bahwa dia adalah satu di antara tujuh bhikkhu yang bermeditasi di puncak gunung yang curam dan yang pertama telah mencapai Kearahattaan dalam kehidupan itu, dari lima bhikkhu lainnya, ia melihat bahwa mereka semuanya terlahir di alam dewa.

    Sekarang, salah satu di antara mereka telah menjadi Arahanta palsu di Suppàraka dan hidup mengandalkan kepercayaan para penduduk di sana, ia merasa adalah tugasnya untuk menegur temannya itu untuk berada di jalan yang benar. Ia merasa kecewa, karena Bàhiya Dàrucīriya dalam kehidupan lampaunya sebagai bhikkhu adalah seorang yang memegang teguh prinspi-prinsip moralitas, bahkan menolak makanan yang dikumpulkan oleh Arahanta temannya. Ia juga ingin menarik perhatian Bàhiya kepada kemunculan Buddha Gotama di dunia ini. Ia berpikir untuk membangkitkan semangat religius pada teman lamanya itu dan seketika ia turun dari alam brahmà dan muncul di depan Bàhiya Dàrucīriya dengan segala kemegahannya.

    Bàhiya Dàrucīriya tiba-tiba melihat cahaya gilang-gemilang dan segera keluar dari kamarnya. Ia melihat brahmà itu dan setelah merangkapkan kedua tangannya, ia bertanya, “Siapakah engkau, Tuan?”

    “Aku adalah teman lamamu. Menjelang akhir masa Buddha Kassapa, aku adalah satu dari tujuh bhikkhu termasuk dirimu, yang pergi ke puncak gunung yang curam dan berlatih meditasi Pandangan Cerah. (Aku mencapai Anàgàmī-Phala, dan terlahir kembali di alam brahmà. Yang tertua di antara kita menjadi seorang Arahanta dan telah meninggal dunia dari kehidupannya itu. Lima orang lainnya, setelah meninggal dunia, terlahir kembali di alam dewa. Aku datang untuk menegurmu agar tidak hidup mengandalkan kepercayaan salah para penduduk.”

    O Bàhiya:

    1. Engkau bukan seorang Arahanta;
    2. Engkau belum mencapai Arahatta-Magga;
    3. Engkau bahkan belum memulai latihan menuju Kearahattaan. (Engkau belum melakukan sedikit pun praktik benar untuk mencapai Kearahattaan.)

    Buddha sekarang telah muncul di dunia ini, dan sedang berdiam di Vihàra Jetavana di Sàvatthī. Aku harap engkau pergi dan menjumpai Bhagavà.”

    Setelah menegurnya demikian, brahmà itu kembali ke alamnya.

    Bàhiya Dàrucīriya tertegun mendengar kata-kata brahmà itu dan memutuskan untuk mencari Jalan menuju Nibbàna. Ia langsung pergi ke Sàvatthī. Menempuh jarak seratus dua puluh yojanà dalam satu malam. Keesokan paginya ia tiba di Sàvatthī.

    Buddha mengetahui bahwa Bàhiya Dàrucīriya akan menjumpai-Nya tetapi melihat bahwa indria orang itu seperti keyakinan, belum cukup matang untuk menerima (memahami) Kebenaran; dan untuk mematangkannya, Buddha menunggu dan pergi ke kota untuk menerima dàna makanan, disertai oleh banyak bhikkhu.

    Setelah Buddha meninggalkan Vihàra Jetavana, Bàhiya Dàrucīriya memasuki vihàra dan melihat banyak bhikkhu sedang berjalan-jalan di ruang terbuka setelah sarapan pagi, untuk mencegah kantuk. Ia bertanya kepada para bhikkhu di mana Buddha berada, dan diberitahu bahwa Bhagavà sedang menerima dàna makanan di kota. Para bhikkhu bertanya dari mana ia datang. “Aku datang dari pelabuhan Suppàraka, Yang Mulia.” “Engkau datang dari jauh. Cucilah kakimu, gosokkan minyak untuk melemaskan kakimu dan beristirahatlah sejenak. Bhagavà akan kembali tidak lama lagi dan engkau dapat menjumpai-Nya.”

    Walaupun para bhikkhu dengan ramah menyambut kedatangannya tetapi Bàhiya Dàrucīriya tidak sabar menunggu. Ia berkata, “Yang Mulia, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu bahaya yang dapat mengancam kehidupanku. Aku datang tergesa-gesa, menempuh seratus dua puluh yojanà dalam satu malam, tanpa beristirahat. Aku harus bertemu dengan Bhagavà sebelum memikirkan soal istirahat.”

    Setelah berkata demikian, ia berjalan ke kota dan melihat sosok Buddha yang tiada bandingnya. Saat ia melihat Buddha berjalan, ia merenungkan, “Ah, betapa lamanya waktu berlalu sebelum aku berkesempatan melihat Bhagavà!”

    Ia berdiri terpesona di tempat itu menatap Buddha, batinnya dipenuhi oleh kegembiraan dan kepuasan, matanya tidak berkedip dan terpaku pada sosok Buddha.

    Dengan membungkukkan badannya ia memberi hormat kepada Buddha, dan dirinya tenggelam dalam kemegahan aura Buddha, ia mendekati Bhagavà, bersujud dengan lima titik sentuhan ke tanah, menyembah dan mengusap kaki Bhagavà dengan penuh hormat, menciumnya dengan bersemangat.

    Ia berkata:
    “Yang Mulia, sudilah Bhagavà membabarkan khotbah kepadaku. Khotbah yang dibabarkan oleh Yang Selalu Berkata Benar akan bermanfaat bagiku untuk waktu yang lama.”

    Buddha berkata, “Bàhiya, sekarang bukan waktunya membabarkan khotbah. Kami sedang mengumpulkan dàna makanan di kota.”

    [Buddha menunda saat pemberian kotbah adalah karena bahiya belum siap benar secara fisik dan mental. Secara fisik karena perjalanan jauh seratus dua puluh yojanà dalam satu malam yang dilakukannya. Secara mental karena dua faktor, yaitu: kekhawatiran yg meluap akan keselamatan hidupnya, dan begitu meluap kegembiraannya ketika melihat dan bertemu Buddha, yang merupakan faktor kendala dalam pencapaian Pandangan Cerah dimana batinnya harus ditenangkan hingga pada tahap seimbang]

    Ketika Buddha mengatakan hal itu, Bàhiya Dàrucīriya berkata untuk kedua kalinya, “Yang Mulia, tidak mungkin aku mengetahui apakah Bhagavà akan menjumpai bahaya yang mengancam kehidupan-Nya, atau aku akan menjumpai bahaya yang mengancam kehidupanku. Karena itu sudilah Bhagavà membabarkan khotbah kepadaku. Khotbah yang dibabarkan oleh Yang Selalu Berkata Benar akan bermanfaat bagiku untuk waktu yang lama.”

    Dan untuk kedua kalinya Buddha berkata, “Bàhiya, sekarang bukan waktunya membabarkan khotbah. Kami sedang mengumpulkan dàna makanan di kota.”

    Untuk ketiga kalinya Bàhiya Dàrucīriya mengajukan permohonan kepada Buddha. Dan Buddha mengetahui:

    1. bahwa batin Bàhiya telah tenang hingga pada tahap seimbang;
    2. bahwa ia telah beristirahat dan telah mengatasi keletihannya;
    3. bahwa indrianya sudah cukup matang; dan
    4. bahaya kehidupannya sudah sangat dekat, memutuskan bahwa waktunya telah tiba untuk membabarkan khotbah.

    Demikianlah, Buddha membabarkan khotbah secara singkat sebagai berikut:

      “(1) Demikianlah, Bàhiya, engkau harus melatih dirimu: dalam melihat objek-objek terlihat (semua objek terlihat), menyadari bahwa melihat adalah hanya melihat; dalam mendengarkan suara, menyadari bahwa mendengar adalah hanya mendengar; demikian pula dalam mencium bau-bauan, mengecap dan menyentuh objek-objek sentuhan, menyadari bahwa mencium, mengecap, menyentuh adalah hanya mencium, mengecap dan menyentuh; dan dalam menyadari objek-objek pikiran, yaitu pikiran dan gagasan, menyadari bahwa itu hanyalah menyadari.”

      “(2) Bàhiya, jika engkau mampu tetap menyadari dalam melihat, mendengar, mengalami, dan mengenali (empat kelompok) objek-indria, engkau akan menjadi seorang yang tidak berhubungan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan objek-objek terlihat, suara yang terdengar, objek-objek yang dialami, atau objek pikiran yang dikenali. Dengan kata lain, engkau akan menjadi seorang yang tidak serakah, tidak membenci, dan tidak bodoh.”

      “(3) Bàhiya, terhadap objek-objek terlihat, suara yang terdengar, objek-objek yang dialami, objek-objek pikiran yang dikenali, engkau tidak boleh berhubungan dengannya melalui keserakahan, kebencian atau kebodohan, yaitu, jika engkau ingin menjadi seorang yang tidak memliki keserakahan, kebencian dan kebodohan, maka, Bàhiya, engkau harus menjadi seorang yang tidak memiliki keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah sehubungan dengan objek yang dilihat, didengar, dialami atau dikenali. Engkau tidak boleh menganggap ‘Ini milikku’ (karena keserakahan), tidak memiliki konsep ‘aku’ (karena keangkuhan), tidak mempertahankan gagasan atau konsep ‘diriku’ (karena pandangan salah).”

      “(4) Bàhiya, jika engkau sungguh ingin menjadi seorang yang tidak memiliki keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah sehubungan dengan objek yang dilihat, suara yang didengar, objek-objek nyata yang dialami, objek-pikiran yang dikenali, maka Bàhiya, (dengan tidak adanya keserakahan, keangkuhan dan pandangan salah dalam dirimu) engkau tidak akan terlahir kembali di alam manusia, juga tidak akan terlahir kembali di empat alam lainnya (yaitu, alam dewa, Niraya, binatang, dan hantu kelaparan atau peta). Selain kehidupan yang sekarang (di alam manusia) dan empat alam kelahiran kembali lainnya, tidak ada alam lainnya bagimu. Tidak-munculnya batin-dan-jasmani baru adalah akhir dari kotoran yang merupakan dukkha dan akhir dari kelahiran kembali yang merupakan dukkha.”

    Demikianlah Buddha membabarkan Dhamma yang memuncak pada Pelenyapan tertinggi atau Nibbàna di mana tidak ada lagi unsur-unsur kehidupan (khandha) tersisa.

    (Bàhiya Dàrucīriya adalah seseorang yang lebih tepat diberikan penjelasan singkat (saṁkhittaruci-puggala). Karena itu Buddha menjelaskan enam objek indria tanpa menyebutkan seluruh enam itu secara terperinci, tetapi menggabungkan bau, rasa dan objek sentuhan sebagai ‘objek-objek nyata.’ Demikianlah objek-objek indria itu dikelompokkan dalam empat kelompok: apa yang dilihat (diññha), apa yang didengar (suta), apa yang dialami (mutta), dan apa yang disadari (viññàta).

    (klik!) Sehubungan dengan empat langkah penjelasan di atas

      (1) dalam nasihat Buddha agar menyadari melihat sebagai hanya melihat, mendengar sebagai hanya mendengar, mengalami sebagai hanya mengalami, mengenali sebagai hanya mengenali saat berhubungan dengan empat kelompok objek-objek indria masing-masing yang merupakan fenomena berkondisi, mengandung arti bahwa kesadaran-mata muncul dalam melihat objek-objek terlihat, kesadaran-telinga muncul dalam mendengar suara, kesadaran-hidung muncul dalam mencium bau, kesadaran-lidah muncul dalam mengecap rasa, dan kesadaran-pikiran muncul dalam mengenali objek-pikiran, hanya ada kesadaran dan tidak ada keserakahan, kebencian, dan kebodohan di sana.

      (Pembaca harus memelajari sifat dari proses lima pintu-indria dan proses pintu-pikiran.)

      (Kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah dan kesadaran-badan, lima jenis kesadaran ini disebut lima jenis kesadaran-indria.)

      Buddha menasihati Bàhiya agar ia berusaha dengan tekun untuk tidak membiarkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan merasuki impuls momen-pikiran yang mengikuti lima-pintu indria dan proses-pintu-pikiran yang muncul seketika saat munculnya lima jenis kesadaran-indria itu, dalam setiap tahapnya tidak ada keserakahan, kebencian atau kebodohan, namun hanya kesadaran-indria saja. Karena menilai objek-objek indria tersebut secara alami akan menimbulkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan.

      (Buddha menasihati Bàhiya agar ia berusaha dengan tekun untuk tidak membiarkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan merasuki impuls momen-pikiran karena Beliau ingin Bàhiya memahami konsep keliru seperti, “Ini kekal,” “Ini bahagia,” atau “Ini memiliki inti,” yang cenderung merasuki (pikiran yang tidak terjaga) sehubungan dengan empat kelompok objek-indria tersebut. Hanya jika seseorang menganggapnya sebagai tidak kekal, menyedihkan, buruk dan tanpa-diri, maka tidak akan muncul anggapan keliru sebagai kekal, bahagia, indah dan memiliki inti; hanya akan muncul Pandangan Cerah di mana impuls baik mengikuti (proses-pikiran netral pada tahap kesadaran-indria). Buddha memperingati Bàhiya agar menjaga dari pikiran salah akan fenomena berkondisi yang mewakili empat kelompok objek-indria sebagai kekal, bahagia, indah dan memiliki inti dan memandangnya sebagaimana adanya, yaitu, tidak kekal, menyedihkan, buruk, dan tanpa-diri, dan dengan demikian melatih Pandangan Cerah agar impuls baik mengikuti (kesadaran indria).

      (Dengan menunjukkan pandangan benar dalam memandang empat jenis objek indria yang merupakan fenomena berkondisi, sebagai tidak kekal, menyedihkan, buruk dan tanpa-diri, Buddha (dalam 1 di atas) mengajarkan enam tingkat rendah dari Kesucian dan sepuluh tingkat Pandangan Cerah kepada Bàhiya Dàrucīriya.)

      Dalam (2), “Bàhiya, jika engkau dapat tetap waspada dalam melihat, mendengar, mengalami dan menyadari empat kelompok objek-indria yang merupakan fenomena berkondisi melalui sepuluh tahap Pandangan Cerah dan mencapai Pengetahuan Jalan, maka engkau telah melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan; engkau bukanlah seorang yang serakah, yang membenci, atau yang bodoh; dengan kata lain, engkau akan bebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Ini menunjukkan Empat Magga.)

      (Dalam (3): para Ariya saat mencapai Ariya-Phala bebas total dari pengaruh keserakahan, keangkuhan, dan pandangan salah, sehingga mereka tidak pernah menganggap segala fenomena berkondisi yang disajikan oleh empat kelompok objek-indria sebagai ‘aku’, ‘milikku’ atau ‘diriku’. Ini menunjukkan Ariya-Phala.)

      (Dalam (4): Seorang Arahanta setelah saat kesadaran-kematian lenyap tidak terlahir kembali apakah di alam manusia ini atau di empat alam lainnya. Ini adalah pelenyapan total dari kelompok-kelompok batin dan jasmani, dan disebut Nibbàna tanpa meninggalkan sisa dari kelompok-kelompok kehidupan. Langkah ini menunjukkan Nibbàna tertinggi, Pelenyapan tanpa sisa.)

    Bàhiya Dàrucīriya bahkan selagi mendengarkan khotbah Buddha, menyucikan empat jenis moralitas kebhikkhuan, dan menyucikan batinnya melalui konsentrasi, dan mengembangkan Pandangan Cerah yang dilakukan dalam waktu yang singkat itu hingga ia mencapai Arahatta-Phala lengkap dengan empat Pengetahuan Analitis (Pañisambhidà ¥àṇa). Ia mampu menghancurkan semua àsava, kotoran moral, karena ia adalah individu yang berjenis sangat langka (karena jasa masa lampaunya) yang ditakdirkan untuk mencapai Pencerahan dalam waktu singkat, karena telah memiliki pengetahuan yang dibawa sejak lahir.

    Setelah mencapai Arahatta-Phala, Yang Mulia Bàhiya Dàrucīriya, melihat dirinya sendiri dengan Pengetahuan Peninjauan (Paccavekkhaṇà ¥àṇa) yang terdiri dari sembilan belas faktor, merasa perlu, seperti biasanya seorang Arahanta, untuk menjadi bhikkhu dan memohon Buddha untuk menahbiskannya. Buddha bertanya, “Apakah engkau memiliki mangkuk dan jubah bhikkhu?”

    “Belum, Yang Mulia,” ia menjawab.

    “Kalau begitu,” Buddha berkata, “Pergilah cari dulu.”

    Setelah berkata demikian, Buddha melanjutkan menerima dàna makanan di Kota Sàvatthī.

    (Biasanya jika Ia seorang Arahat dan memohon untuk tasbihkan,maka Sang Buddha akan menyebutkan kalimat, "Ehi Bhikkhu" [Datanglah, Bhikkhu], namun tidak dapat dilakukan pada Bàhiya, dikarenakan:

    • Bahiya telah menjadi seorang bhikkhu pada masa ajaran Buddha Kassapa. Ia tetap menjadi bhikkhu dan berusaha mencapai Pencerahan selama dua puluh ribu tahun. Pada masa itu, jika ia menerima kebutuhan bhikkhu, ia berpikir bahwa perolehan itu ia dapatkan berkat jasa masa lampaunya sendiri dan tidak membaginya dengan bhikkhu lainnya. Karena kurangnya kedermawanan dalam memberikan jubah atau mangkuk kepada bhikkhu lainnya, ia kekurangan jasa yang dapat mendukungnya agar dapat dipanggil oleh Buddha, “Datanglah, Bhikkhu.”
    • Bàhiya juga pernah terlahir sebagai seorang perampok pada masa tidak ada Buddha yang muncul di dunia. Ia merampok seorang Pacceka Buddha, mengambil jubah dan mangkuknya dan membunuhnya dengan busur dan panahnya. Buddha mengetahui bahwa karena perbuatan jahat itu, Bàhiya Dàrucīriya tidak akan dapat memperoleh jubah dan mangkuk yang diciptakan melalui pikiran (Bahkan jika Buddha memanggilnya, “Datanglah, Bhikkhu”) (Komentar Udàna).

    Namun, akibat yang ditimbulkan dari perbuatan jahat ini lebih sesuai jika dihubungkan dengan kenyataan nasib Bàhiya yang tidak memiliki pakaian yang pantas selain serat-serat kayu.)

    Bàhiya meninggalkan Buddha dan berkeliling kota mencari mangkuk makan dan potongan kain untuk dijadikan jubah, sewaktu melakukan hal itu, ia ditanduk oleh seekor sapi yang baru melahirkan anak.

    Ketika Buddha selesai mengumpulkan dàna makanan dan meninggalkan kota disertai oleh banyak bhikkhu, Beliau menemukan jasad Bàhiya di atas tumpukan sampah, dan berkata kepada para bhikkhu, “Pergilah, para bhikkhu, cari selembar selimut, dan bawa jenazah Bàhiya, lakukan pemakaman yang layak, dan semayamkan relik-reliknya.”

    Para bhikkhu memperlakukan sesuai instruksi Buddha.

    Kembali ke vihàra, para bhikkhu melaporkan kepada Buddha bahwa tugas mereka telah diselesaikan dan bertanya kepada Buddha, “Yang Mulia, di manakah Bàhiya terlahir kembali?” Dengan pertanyaan ini mereka menanyakan apakah Bàhiya meninggal dunia sebagai seorang awam, atau seorang Ariya yang belum melenyapkan kelahiran kembali atau seorang Arahanta yang telah mengakhiri kelahiran kembali. Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, Bàhiya adalah seorang bijaksana. Ia melatih dirinya dengan benar dan mencapai Lokuttara. Ia tidak menyulitkan Aku sehubungan dengan Dhamma, Bàhiya telah mengakhiri dukkha.”

    (Instruksi Buddha kepada para bhikkhu untuk menyemayamkan relik-relik Bàhiya adalah petunjuk jelas bahwa Bàhiya meninggal dunia sebagai sorang Arahanta. Tetapi beberapa bhikkhu gagal memahami maksud dari instruksi tersebut atau mungkin mereka bertanya kepada Buddha untuk memastikan kenyataan itu.)

    Mendengar bahwa (Yang Mulia) Bàhiya Dàrucīriya meninggal dunia sebagai seorang Arahanta, para bhikkhu penasaran. Mereka bertanya kepada Buddha, “Kapankah Bàhiya Dàrucīriya mencapai Kearahattaan, Yang Mulia?”

    “Pada saat ia mendengarkan khotbah-Ku,” Buddha menjawab.

    “Kapankah Bhagavà membabarkan khotbah kepadanya?”

    “Hari ini, saat menerima dàna makanan.”

    “Tetapi, Yang Mulia, khotbah tersebut pasti sangat penting. Bagaimana mungkin khotbah singkat itu dapat mencerahkannya?”

    “Para bhikkhu, bagaimana mungkin kalian menilai akibat dari khotbah-Ku yang panjang atau pendek? Seribu bait syair yang tidak bermanfaat tidak sebanding dengan satu bait syair yang memberikan manfaat kepada pendengarnya.”

    Dan pada kesempatan itu Buddha mengucapkan syair berikut:

    Sahassamapi ce gàthà, anatthapadasañhità; ekaṁ gàthtà padaṁ seyyo, yaṁ sutvà upasammati.” [(Para bhikkhu) daripada seribu bait syair yang tidak mendukung pengetahuan lebih baik satu baris syair (seperti ‘perhatian adalah jalan menuju keabadian’) yang dengan mendengarnya, si pendengar menjadi tenteram.]

    Pada akhir khotbah tersebut, banyak makhluk yang mencapai berbagai tingkat Pengetahuan Jalan seperti Sotàpatti-Phala. [RAPB buku ke-3 hal 2685-2698]

  4. Pukkusati. Kisahnya adalah seperti di atas.

Gambar berasal dari:
Komik Buddha no.4 "Pukkhusati", pelepas Takhta, Handaka Vijjananda & Fredy Siloy, ISBN 978-602-8194-10-5, Cetakan I, April 2009, Ehipassiko Foundation, www.ehipassiko.net, email: ehipassikofoundation.gmail.com, Hp: 085888503388. Sedangkan 1 gambar, yaitu Pukkusati menggaris kayu di tanah berasal dari sini

1 komentar: